94 Tahun Sumpah Pemuda: Mengukuhkan Persatuan Bangsa dalam menghadapi Pilpres 2024

Dalam rangka memperingati 94 Tahun hari Sumpah Pemuda 28 Oktober 2022 dan menjelang dua dekade penerapan sistem Pilpres secara langsung. KMHI (Komite Mahasiswa Hukum Indonesia) mengajak masyarakat untuk merefleksikan pengalaman politik kita sebagai Bangsa Indonesia dan menimbang manfaat dan kerugian sistem pemilu hari ini bagi kemaslahatan Bangsa dan Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Hal tersebut disampaikan oleh Guntur Efendi Ketua Umum KMHI (Komite Mahasiswa Hukum Indonesia) di kampus Merah Putih. Bermula dari amendemen Undang-Undang Dasar Republik Indonesia 1945 yang ketiga pada tahun 2001 Pasal 6A Ayat (1) UUD RI 1945 menyebutkan, presiden dan wakil presiden dipilih secara langsung oleh rakyat. “Presiden dan Wakil Presiden dipilih dalam satu pasangan secara langsung oleh rakyat,” demikian bunyi pasal tersebut.

Selanjutnya pada 31 Juli 2003, Presiden Megawati Soekarnoputri menandatangani Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2003 tentang Pemilihan Presiden dan Wakil Presiden.

Pasal 5 Ayat (4) UU itu menyebutkan bahwa calon presiden dan wakil presiden hanya dapat diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai politik yang memperoleh sekurang-kurangnya 15 persen dari jumlah kursi DPR atau 20 persen dari perolehan suara sah secara nasional dalam pemilu anggota DPR.

Kemudian, pasangan calon presiden dan wakil presiden dinyatakan terpilih apabila mendapatkan suara melebihi 50 persen dari jumlah suara dalam pilpres, dengan sedikitnya 20 persen suara di setiap provinsi yang tersebar di lebih dari setengah jumlah provinsi di Indonesia. Ketentuan ini diatur dalam Pasal 66 Ayat (2) UU Pemilu. Semua peraturan dan perundang-undangan menyangkut hajat politik lima tahunan Bangsa Indonesia itu ternyata menyisakan banyak catatan kelam, dibalik cerita kesuksesan dalam menjalankan kehidupan berdemokrasi pasca Gerakan reformasi ’98.

Sebagai contoh kita ambil satu gambaran konkrit perubahan sosial yang terjadi ditengah masyarakat pasca diterapkannya UU Pemilu 2004, lalu diteruskan hingga UU Pemilu 2017. Ada lima isu krusial dalam undang-undang ini. Lima isu itu yakni terkait sistem pemilu, ambang batas pencalonan presiden
(presidential threshold), ambang batas parlemen (parliamentary treshold), metode konversi suara, dan alokasi kursi per dapil.

Sistem pemilu proporsional terbuka ini merupakan sistem yang cenderung membebaskan pemilih untuk memilih calon yang diinginkannya. Calon yang mendapatkan suara terbanyak dari pemilihlah yang akan menjadi anggota legislatif. Sistem ini dianggap lebih demokratis dengan tingkat partisipasi masyarakat lebih tinggi, pemilih bisa memilih langsung wakilnya.

Semasa pembentukan UU tersebut mulai dari penggalian aspirasi, usulan hingga ditetapkan di parlemen, secara teknis tentu berbagai dampak sosial pasca penerapan UU Pemilu telah diperhitungkan dengan matang. Namun dalam realitas yang terjadi, kita saksikan terdapat beberapa ekses negatif di tengah-tengah masyarakat.Diantaranya ialah perubahan perilaku sosial di tengah-tengah masyarakat, dengan terjadinya polarisasi tajam yang kemudian membentuk kelompok-kelompok fanatis dalam masyarakat (baik pada pemilu tingkat daerah, apalagi tingkat nasional. Hingga dalam perbincangan awam, perseteruatn tersebut membentuk kelompok-kelompok yang dijuluki sebagai; “cebong,” “kampret,” “kadrun” dengan berbagai stigma dan stereotip yang saling mereka lekatkan pada kelompok yang menjadi seterunya), menurut penulis hal ini merupakan sebuah tragis kebudayaan dan rasa persatuan kebangsaan Indonesia yang harus kita hentikan, sebab secara sosio-antropologis fakta aslinya Bangsa Indonesia terkenal dengan budaya gotong royong, tepa selira, guyub, mengutamakan musyawarah-mufakat dalam penentuan pendapat atau keputusan kolektif di segala lini dan jenjang lembaga sosial. Belum lagi budaya “money politic” yang dirasakan semakin lazim, padahal secara tradisional Bangsa Indonesia merupakan bangsa yang dikenal memiliki harga diri dan integritas tinggi.

Menurut Guntur, hal ini tidak sepadan untuk dipertukarkan. Antara integritas, persatuan dan kesatuan bangsa dengan harapan subjektif mendapatkan pemimpin daerah atau pemimpin nasional ideal dengan pemilihan langsung Capres-Cawapres di Indonesia.

Kita harus mulai memikirkan masa depan persatuan Bangsa Indonesia ke depan dengan kembali kepada kearifan para pendiri bangsa pendahulu kita, demokrasi yang berlandaskan permusyawaratan dalam perwakilan, tandasnya. KMHI sedang melakukan studi untuk menginventarisasi berbagai kerugian konstitusional akibat penerapan sistem pemilihan langsung ini dan dalam waktu dekat akan coba mengajukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi.

Dalam momen yang bersejarah ini, KMHI membuat polling jajak pendapat tentang masa depan sistem Pemilihan Presiden ke depan. Petisi Kembali ke UUD 45 secara murni dan konsekuen , lalu kembali menentukan Arah Garis Besar Haluan Negara. (ABG)

Untuk berpartisipasi silahkan klik >>>> disini