PWRIonline.com
Semarang – Salah satu tantangan dalam pelaksanaan Pengarusutamaan Gender (PUG) adalah pemahaman masyarakat di semua lapisan tentang kesetaraan gender.
Padahal, strategi PUG diperlukan untuk memastikan semua lapisan masyarakat, baik laki-laki maupun perempuan, anak laki-laki, anak perempuan, penyandang disabilitas, lansia dan kelompok rentan lainnya bisa terlibat dalam proses pembangunan. Oleh karenanya, dibutuhkan peran Perguruan Tinggi dalam memasyarakatkan pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender.Selasa (25/09/2018).
Pemahaman mengenai kesetaraan dan keadilan gender menjadi semakin penting ketika kita sadar bahwa angka kekerasan terhadap perempuan semakin tinggi.
Berdasarkan Survey Pengalaman Hidup Perempuan Nasional (SPHPN) 2016 yang dilakukan oleh Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (Kemen PPPA) bekerjasama dengan Badan Pusat Statistik (BPS), di Indonesia masih sangat memprihatinkan.
Survey tersebut membuktikan bahwa 1 dari 3 perempuan usia 15-65 tahun mengalami kekerasan fisik dan atau seksual sepanjang hidupnya.
Disamping itu, terungkapnya berbagai kasus kejahatan seksual akhir-akhir ini di beberapa daerah yang dapat kita saksikan dalam berbagai media menimbulkan berbagai kekhawatiran. Perempuan dan anak menjadi objek sekaligus korban dari kejahatan ini.
“Pemahaman yang ada saat ini merupakan pemahaman yang sebagian besar dipengaruhi oleh budaya setempat dan dibangun dari pemikiran agama yang kurang tepat.
Hal ini mengakibatkan timbulnya praktek-praktek diskriminasi dan kekerasan di masyarakat. Oleh karenanya, kita menginginkan pemahaman tentang kesetaraan dan keadilan gender yang benar dan tepat.
Pemahaman ini dapat secara terus menerus dibawa dan dilembagakan dalam masyarakat melalui peran seluruh lapisan masyarakat, termasuk peran Perguruan Tinggi dalam pelaksanaan Tri Dharma Perguruan Tinggi.
Nah, mengapa Perguruan Tinggi? Perguruan Tinggi memiliki peranan penting dan strategis untuk menyebarluaskan pengetahuan, nilai, norma, dan ideologi serta pembentukan karakter bangsa, tidak terkecuali kesetaraan dan keadilan gender,” ujar Menteri PPPA, Yohana Yembise ketika menjadi pembicara dalam kuliah umum “Peran Perguruan Tinggi dalam Percepatan Pencapaian Kesetaraan dan Keadilan Gender” di Universitas 17 Agustus, Semarang, Prov. Jawa Tengah.
Strategi PUG dilaksanakan dengan cara memastikan, baik laki-laki maupun perempuan dapat mengakses, berpartisipasi, dan ikut dalam pengambilan keputusan serta mendapat manfaat dari hasil pembangunan.
Salah satu ukuran kemajuan PUG adalah bagaimana memastikan laki-laki dan perempuan menjadi sumberdaya manusia potensial yang perannya sama-sama menentukan keberhasilan pembangunan responsif gender.
Pemerintah Indonesia melalui Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 tentang pengarusutamaan gender dalam pembangunan nasional, mengamanatkan kepada seluruh pimpinan Kementerian/Lembaga dan pimpinan Daerah termasuk Perguruan Tinggi sesuai dengan tugas, fungsi dan kewenangannya masing-masing untuk melaksanakan strategi pengarusutamaan gender dalam pencapaian kesetaraan dan keadilan gender.
Kita juga patut bangga karena Presiden Joko Widodo telah ditetapkan menjadi duta HeForShe yaitu laki-laki untuk perempuan. Hal ini sekaligus menunjukan komitmen Indonesia untuk memperjuangkan perubahan positif bagi kaum perempuan, khususnya yang menyangkut Akses, Partisipasi, Kontrol dan Manfaat dari Pembangunan.
“Melalui peran dan tugas ini diharapkan Perguruan Tinggi dapat membantu membangun dan meningkatkan pemahaman tentang kesetaraan gender yang lengkap.
Hal ini akan berdampak pada pengetahuan, sikap dan perilaku mahasiswa dalam praktek kehidupan sehari-hari dan profesi yang akan dijalani.
Saya mengajak civitas akademika untuk bejerja keras mencapai target-target SDGs melalui penelitian dan mengintegrasikan amanah pencapaian SDGs dalam kurikulum.
Bara peneliti, dosen dan mahasiswa duduk bersama mengupas tuntas strategi pencapaian target SDGs melalui seminar, workshop dan berbagai kajian. Saya juga mengajak semua komponen, khususnya mahasiswa, generasi muda untuk menjadi generasi yang memutus mata rantai kekerasan terhadap perempuan dan anak. Mahasiwa sebagai generasi muda harus meletakan landasan yang kokoh bagi pencapaian kesetaraan dan keadilan gender.
Pada akhirnya seluruh upaya baik ini dapat memberikan kontribusi yang signifikan terhadap perubahan di masyarakat, terutama ke arah masyarakat yang lebih toleran, anti diskriminasi dan anti kekerasan,” tutup Menteri Yohana.
(Red/kemenpppa)